Jumat, 06 April 2012

FONOLOGI DAN BIDANG PEMBAHASANNYA

BAB I 
PENDAHULUAN
Bahwa bahasa adalah sistem bunyi ujar sudah disadari oleh para linguis. Oleh karena itu, objek utama kajian linguistik adalah bahasa lisan, yaitu bahasa dalam bentuk bunyi ujar. Kalau toh dalam praktik berbahasa dijumpai ragam bahasa tulis, dianggap sebagai bahasa sekunder, yaitu “rekaman” dari bahasa lisan. Oleh karena itu, bahasa tulis bukan menjadi sasaran utama kajian linguistik.
Konsekuensi logis dari anggapan bahkan kenyakinan ini adalah dasar analisis cabang-cabang linguistik apapun ( fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, leksikologi) berkiblat pada korpus data yang bersumber dari bahasa lisan, walaupun yang dikaji sesuai dengan konsentrasinya masing- masing.
Dari sini dapat dipahami bahwa material bahasa adalah bunyi-bunyi ujar. Kajian mendalam tentang bunyi-bunyi ujar ini diselidiki oleh cabang linguistik yang disebut fonologi. Oleh fonologi, bunyi-bunyi ujar ini dapat dipelajari dengan dua sudut pandang
Pertama, bunyi-bunyi ujar dipandang sebagai media bahasa semata, tak ubahnya seperti benda atau zat. Fonologi yang memandang bunyi-bunyi ujar demikian lazim disebut fonetik.
Kedua, bunyi-bunyi ujar dipandang sebagai bagian dari sistem bahasa. Bunyi-buyi ujar merupakan unsur-unsur bahasa terkecil yang merupakan bagian dari struktur kata dan yang sekaligus berfungsi untuk membedakan makna. Fonologi yang memandang bunyi-bunyi ujar itu sebagai bagian dari sistem bahasa lazim disebut fonemik.
Dari  dua sudut pandang tentang bunyi ujar tersebut dapat disimpulkan bahwa fonologi mempunyai dua cabang kajian, yaitu fonetik dan fonemik.
B.     KEDUDUKAN  FONOLOGI  DALAM  CABANG- CABANG LINGUISTIK
Sebagai bidang yang berkonsentrasi dalam diskripsi dan analisis bunyi-bunyi uajar, hasil kerja fonologi berguna bahkan sering dimanfaatkan oleh cabang-cabang linguistik yang lain, baik linguistik teoritis maupun terapan. Apalagi, korpus data yang menjadi sasaran analisisnya adalah bahasa lisan.
Bidang morfologi, yang konsentrasi analisisnya pada tataran struktur internal kata ( mulai dari kata perilaku kata, proses pembentukan kata, sampai dengan nosi yang timbul akibat pembentukan kata) sering memanfaatkan hasil studi fonologi.
Bidang sintaksis, yang konsentrasi analisisnya pada tataran kalimat ketika berhadapan dengan kalimat kamu di sini. (kalimat berita), kamu di sini? (kalimat tanya), dan kamu di sini! (kalimat seru/ perintah) yang ketiganya mempunyai maksud yang berbeda, bisa dijelaskan dengan memanfaatkan hasil analisis fonologi, yaitu tentang intonasi. Begitu juga, persoalan jeda dan tekanan pada kalimat, yang ternyata bisa membedakan maksud kalimat, terutama dalam bahasa Indonesia.
Bidang semantik, yang berkonsentrasi pada persoalan makna kata pun tidak jarang memanfaatkan hasil telaah fonologi. Kapan sebuah kata bisa divariasikan ucapannya, dan kapan tidak. Hasil analisis fonologislah yang bisa membantunya.
Bidang leksikologi, juga leksikografi, yang berkonsentrasi pada persoalan perbendaharaan kata suatu bahasa, baik dalam rangka penyusunan kamus maupun tidak, sering memanfaatkan hasil kajian fonologi. Cara-cara pengucapan yang khas suatu kata dan variasi pengucapan hanya bisa dideskrisikan secara cermat lewat transkripsi fonetis.
Bidang dialektologi, yang bermaksud memetakan “wilayah” pemakaian dialek atau variasi bahasa tertentu sering memanfaatkan hasil kajian fonologi, terutama variasi-variasi ucapan pemakaian bahasa, baik secara social maupun geografis. Variasi-variasi ucapan hanya bisa dijelaskan dengan tepat kalau memanfaatkan hasil analisis fonologi.
Begitu juga pada bidang linguistik terapan. Pengajaran bahasa yang bertujuan keterampilan berbahasa lisan harus melatihkan cara-cara pengucapan bunyi-bunyi bahsa target kepada pembelajar. Cara-cara pengucapan ini akan lebih tepat dan cepat bisa dikuasai kalau pembelajar ditunjukkan ciri-ciri artikulasi dan cara-cara pengucapan setiap bunyi yang dilatihkan dengan memanfaatkan hasil kajian fonologi.
Psikolinguistik ketika menganalisis perkembangan penguasaan bunyi-bunyi bahasa pada diri anak juga memanfaatkan hasil kajian fonologi. Mengapa bunyi-bunyi bilabial dikuasai lebih dahulu dari pada buyi-bunyi labiodental, mengapa bunyi lateral dikuasai lebih dahulu dari pada  bunyi tril, mengapa bunyi vokal rendah-depan dikuasai lebih dahulu dari pada  vokal tinggi-belakang, bisa dijelaskan dengan gambling lewat analisis fonetik artikulatoris.
Dalam bidang klinis, hasil kajian fonologi (khususnya fonetik) dapat dimanfaatkan untuk menangani orang atau anak yang mengalami hambatan berbicara dan mendengar.
Dari uraian diatas jelaslah bahwa studi fonologi sangat berkaitan dengan (bahkan sangat berperan pada) bidang-bidang linguistik lain, baik secara teoritis maupun praktis.

C.    MANFAAT FONOLOGI DALAM PENYUSUNAN EJAAN BAHASA
Ejaan adalah peraturan penggambaran atau pelambangan bunyi ujar suatu bahasa. Karena bunyi ujar ada dua unsur, yaitu segmental dan suprasugmental, maka ejaan pun menggambarkan atau melambangkan kedua unsur bunyi ujar tersebut.
Perlambangan unsure segmental bunyi ujar tidak hanya bagaimana melambangkan bunyi-bunyi ujar dalam bentuk tulisan atau huruf, tetapi juga bagaimana menuliskan bunyi-bunyi ujar dalam bentuk kata, frase, klausa, dan kalimat, bagaimana memenggal suku kata, bagaimana menuliskan singkatan, nama orang, lambang-lambang teknis keilmuan. Perlambangan unsur suprasegmental bunyi ujar menyangkut bagaimana melambangkan tekanan, nada,durasi, jeda, dan intonasi. Perlambangan unsur suprasegmental ini dikenal dengan istilah tanda baca atau pungtuasi.
Tata cara penulisan bunyi ujar (baik segmental maupun suprasegmental) ini bisa memanfaatkan hasil kajian fonologi, terutama hasil kajian fonemik terhadap bahasa yang bersangkutan. Sebagai contoh, ejaan bahasa Indonesia yang selama ini telah diterapkan dalam penulisan memanfaatkan hasil studi fonologi bahasa Indonesia, terutama yang berkaitan dengan pelambangan fonem. Oleh karena itu, ejaan bahasa Indonesia dikenal dengan istilah ejaan fonemis.
Terkait dengan pemberlakuan ejaan bahasa Indonesia, ada usulan dari beberapa kalangan yang menarik untuk diperhatikan, yaitu “ucapan bahasa Indonesia hendaknya disesuaikan dengan ejaan bahasa Indonesia”. Dilihat dari pengkajian fonetik, usulan itu sangat lemah dan tidak berdasar karena selain menyalahi kodrat bahasa juga bertentangan dengan kealamiahan bahasa.
Kita tahu bahwa ejaan tumbuh berarus-ratus tahun bahkan beribu-ribu tahun setelah bahasa lisan ada. Bahasa lisan tumbuh dan berkembang denagn sendirinya tanpa ejaan. Ejaan diciptakan untuk melambangkan bunyi-bunyi bahasa. Jadi, tidak ada alasan kuat bahwa bahasa (bahasa lisan, pen) harus mengikuti dan tunduk pada ejaan (bahasa tulis, pen).
Bahasa mana pun selalu berubah, termasuk bahasa Indonesia. Satu sistem ejaan sesuai dengan bahasa yang dilambangkan pada waktu ejaan itu diciptakan. Oleh karena itu, ejaanlah yang harus disesuaikan terus-menerus seiring dengan perkembangan atau perubahan bunyi pada bahasa yang dilambangkan, bukan sebaliknya.






Tidak ada komentar: