BAB I
PENDAHULUAN
Bahwa
bahasa adalah sistem bunyi ujar sudah disadari oleh para linguis. Oleh karena
itu, objek utama kajian linguistik adalah bahasa lisan, yaitu bahasa dalam
bentuk bunyi ujar. Kalau toh dalam
praktik berbahasa dijumpai ragam bahasa tulis, dianggap sebagai bahasa sekunder,
yaitu “rekaman” dari bahasa lisan. Oleh karena itu, bahasa tulis bukan menjadi
sasaran utama kajian linguistik.
Konsekuensi
logis dari anggapan bahkan kenyakinan ini adalah dasar analisis cabang-cabang
linguistik apapun ( fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, leksikologi)
berkiblat pada korpus data yang bersumber dari bahasa lisan, walaupun yang
dikaji sesuai dengan konsentrasinya masing- masing.
Dari
sini dapat dipahami bahwa material bahasa adalah bunyi-bunyi ujar. Kajian
mendalam tentang bunyi-bunyi ujar ini diselidiki oleh cabang linguistik yang
disebut fonologi. Oleh fonologi, bunyi-bunyi ujar ini dapat dipelajari dengan
dua sudut pandang
Pertama,
bunyi-bunyi ujar dipandang sebagai media bahasa semata, tak ubahnya seperti
benda atau zat. Fonologi yang memandang bunyi-bunyi ujar demikian lazim disebut
fonetik.
Kedua, bunyi-bunyi
ujar dipandang sebagai bagian dari sistem bahasa. Bunyi-buyi ujar merupakan
unsur-unsur bahasa terkecil yang merupakan bagian dari struktur kata dan yang
sekaligus berfungsi untuk membedakan makna. Fonologi yang memandang bunyi-bunyi
ujar itu sebagai bagian dari sistem bahasa lazim disebut fonemik.
Dari dua sudut pandang tentang bunyi ujar tersebut
dapat disimpulkan bahwa fonologi mempunyai dua cabang kajian, yaitu fonetik dan
fonemik.
B.
KEDUDUKAN
FONOLOGI DALAM
CABANG- CABANG LINGUISTIK
Sebagai
bidang yang berkonsentrasi dalam diskripsi dan analisis bunyi-bunyi uajar,
hasil kerja fonologi berguna bahkan sering dimanfaatkan oleh cabang-cabang
linguistik yang lain, baik linguistik teoritis maupun terapan. Apalagi, korpus
data yang menjadi sasaran analisisnya adalah bahasa lisan.
Bidang
morfologi, yang konsentrasi analisisnya pada tataran struktur internal kata (
mulai dari kata perilaku kata, proses pembentukan kata, sampai dengan nosi yang
timbul akibat pembentukan kata) sering memanfaatkan hasil studi fonologi.
Bidang
sintaksis, yang konsentrasi analisisnya pada tataran kalimat ketika berhadapan
dengan kalimat kamu di sini. (kalimat
berita), kamu di sini? (kalimat tanya), dan kamu di sini! (kalimat seru/ perintah) yang ketiganya mempunyai maksud yang
berbeda, bisa dijelaskan dengan memanfaatkan hasil analisis fonologi, yaitu
tentang intonasi. Begitu juga, persoalan jeda dan tekanan pada kalimat, yang
ternyata bisa membedakan maksud kalimat, terutama dalam bahasa Indonesia.
Bidang
semantik, yang berkonsentrasi pada persoalan makna kata pun tidak jarang
memanfaatkan hasil telaah fonologi. Kapan sebuah kata bisa divariasikan
ucapannya, dan kapan tidak. Hasil analisis fonologislah yang bisa membantunya.
Bidang
leksikologi, juga leksikografi, yang berkonsentrasi pada persoalan
perbendaharaan kata suatu bahasa, baik dalam rangka penyusunan kamus maupun tidak,
sering memanfaatkan hasil kajian fonologi. Cara-cara pengucapan yang khas suatu
kata dan variasi pengucapan hanya bisa dideskrisikan secara cermat lewat
transkripsi fonetis.
Bidang
dialektologi, yang bermaksud memetakan “wilayah” pemakaian dialek atau variasi
bahasa tertentu sering memanfaatkan hasil kajian fonologi, terutama
variasi-variasi ucapan pemakaian bahasa, baik secara social maupun geografis.
Variasi-variasi ucapan hanya bisa dijelaskan dengan tepat kalau memanfaatkan
hasil analisis fonologi.
Begitu
juga pada bidang linguistik terapan. Pengajaran bahasa yang bertujuan
keterampilan berbahasa lisan harus melatihkan cara-cara pengucapan bunyi-bunyi
bahsa target kepada pembelajar. Cara-cara pengucapan ini akan lebih tepat dan
cepat bisa dikuasai kalau pembelajar ditunjukkan ciri-ciri artikulasi dan
cara-cara pengucapan setiap bunyi yang dilatihkan dengan memanfaatkan hasil
kajian fonologi.
Psikolinguistik
ketika menganalisis perkembangan penguasaan bunyi-bunyi bahasa pada diri anak
juga memanfaatkan hasil kajian fonologi. Mengapa bunyi-bunyi bilabial dikuasai
lebih dahulu dari pada buyi-bunyi labiodental, mengapa bunyi lateral dikuasai
lebih dahulu dari pada bunyi tril,
mengapa bunyi vokal rendah-depan dikuasai lebih dahulu dari pada vokal tinggi-belakang, bisa dijelaskan dengan
gambling lewat analisis fonetik artikulatoris.
Dalam
bidang klinis, hasil kajian fonologi (khususnya fonetik) dapat dimanfaatkan
untuk menangani orang atau anak yang mengalami hambatan berbicara dan
mendengar.
Dari
uraian diatas jelaslah bahwa studi fonologi sangat berkaitan dengan (bahkan
sangat berperan pada) bidang-bidang linguistik lain, baik secara teoritis
maupun praktis.
C.
MANFAAT
FONOLOGI DALAM PENYUSUNAN EJAAN BAHASA
Ejaan
adalah peraturan penggambaran atau pelambangan bunyi ujar suatu bahasa. Karena
bunyi ujar ada dua unsur, yaitu segmental dan suprasugmental, maka ejaan pun
menggambarkan atau melambangkan kedua unsur bunyi ujar tersebut.
Perlambangan
unsure segmental bunyi ujar tidak hanya bagaimana melambangkan bunyi-bunyi ujar
dalam bentuk tulisan atau huruf, tetapi juga bagaimana menuliskan bunyi-bunyi
ujar dalam bentuk kata, frase, klausa, dan kalimat, bagaimana memenggal suku
kata, bagaimana menuliskan singkatan, nama orang, lambang-lambang teknis keilmuan.
Perlambangan unsur suprasegmental bunyi ujar menyangkut bagaimana melambangkan
tekanan, nada,durasi, jeda, dan intonasi. Perlambangan unsur suprasegmental ini
dikenal dengan istilah tanda baca
atau pungtuasi.
Tata
cara penulisan bunyi ujar (baik segmental maupun suprasegmental) ini bisa
memanfaatkan hasil kajian fonologi, terutama hasil kajian fonemik terhadap
bahasa yang bersangkutan. Sebagai contoh, ejaan bahasa Indonesia yang selama
ini telah diterapkan dalam penulisan memanfaatkan hasil studi fonologi bahasa
Indonesia, terutama yang berkaitan dengan pelambangan fonem. Oleh karena itu,
ejaan bahasa Indonesia dikenal dengan istilah ejaan fonemis.
Terkait
dengan pemberlakuan ejaan bahasa Indonesia, ada usulan dari beberapa kalangan
yang menarik untuk diperhatikan, yaitu “ucapan bahasa Indonesia hendaknya
disesuaikan dengan ejaan bahasa Indonesia”. Dilihat dari pengkajian fonetik,
usulan itu sangat lemah dan tidak berdasar karena selain menyalahi kodrat
bahasa juga bertentangan dengan kealamiahan bahasa.
Kita
tahu bahwa ejaan tumbuh berarus-ratus tahun bahkan beribu-ribu tahun setelah bahasa
lisan ada. Bahasa lisan tumbuh dan berkembang denagn sendirinya tanpa ejaan.
Ejaan diciptakan untuk melambangkan bunyi-bunyi bahasa. Jadi, tidak ada alasan
kuat bahwa bahasa (bahasa lisan, pen)
harus mengikuti dan tunduk pada ejaan (bahasa
tulis, pen).
Bahasa
mana pun selalu berubah, termasuk bahasa Indonesia. Satu sistem ejaan sesuai
dengan bahasa yang dilambangkan pada waktu ejaan itu diciptakan. Oleh karena
itu, ejaanlah yang harus disesuaikan terus-menerus seiring dengan perkembangan
atau perubahan bunyi pada bahasa yang dilambangkan, bukan sebaliknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar